
KALIMANTAN NEWS – Pertanyaan tentang apakah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa dibubarkan kerap muncul di tengah masyarakat, terutama saat kepercayaan publik terhadap kinerja wakil rakyat menurun.
Namun, secara hukum tata negara, pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia tidaklah sederhana.
Merujuk pada Pasal 7C UUD 1945, tegas disebutkan: “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Artinya, dalam sistem presidensial Indonesia, DPR tidak bisa dibubarkan oleh Presiden seperti halnya di negara dengan sistem parlementer.
DPR memperoleh legitimasi langsung dari rakyat melalui pemilu, sehingga keberadaannya dilindungi oleh konstitusi.
Ahli hukum tata negara, Prof. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi menyebutkan, larangan ini dibuat untuk mencegah dominasi eksekutif.
Jika benar-benar ingin membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, jalan satu-satunya adalah melalui amandemen UUD 1945.
Tanpa amandemen, pembubaran DPR tidak mungkin dilakukan secara sah.
Sejarah mencatat, Presiden Soekarno pernah membubarkan konstituante lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Namun langkah itu dianggap jalan keluar politik saat krisis, bukan mekanisme konstitusional.
Dalam situasi ekstrem, memang bisa saja terjadi pembubaran lembaga negara lewat kudeta atau dekrit, namun langkah tersebut ilegal secara hukum dan berisiko merusak demokrasi.
Meski tidak bisa dibubarkan, Dewan Perwakilan Rakyat tetap bisa dikontrol melalui:
Secara konstitusional, Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa dibubarkan oleh presiden maupun lembaga lain.
Jika ingin membubarkan, harus melalui amandemen UUD 1945 di MPR.
Di luar itu, langkah pembubaran hanya mungkin terjadi lewat jalur politik non-konstitusional yang berisiko tinggi.(*/KN)
Editor: Zulvan R