KALIMANTAN NEWS – Pernah nggak sih kamu sadar kenapa hal negatif nagih untuk dilakukan berulang?
Mulai dari ngemil junk food tengah malam, begadang scroll medsos, sampai kebiasaan merokok, semuanya terasa nagih padahal kita tahu itu nggak sehat.
Kenapa hal negatif selalu terasa nagih? Berikut penjelasannya:
Setiap kali kita melakukan sesuatu yang bikin senang sesaat, otak melepas dopamin hormon yang bikin kita merasa rewarded.
Table of Contents
ToggleAktivitas negatif sering memberi efek instan: junk food langsung enak, rokok bikin rileks, atau medsos kasih hiburan cepat.
Otak jadi mengingat pola itu sebagai sesuatu yang perlu diulang.
Menurut Volkow et al. (2017) dalam jurnal New England Journal of Medicine, dopamin punya peran besar dalam perilaku adiktif.
Karena ia memperkuat perilaku yang memberi reward cepat, meski dampaknya jangka panjang merugikan.
Hal negatif biasanya nggak butuh usaha besar.
Ngerokok tinggal nyalain, ngemil tinggal buka bungkus, scroll TikTok tinggal geser layar.
Sementara alternatif sehat sering lebih ribet, misalnya olahraga atau masak makanan bergizi.
Karena otak suka jalan pintas, kita lebih tergoda ke pilihan instan.
Penelitian oleh Baumeister & Vohs (2007) dalam Annual Review of Psychology menjelaskan bahwa manusia cenderung memilih perilaku yang membutuhkan energi mental paling sedikit, sehingga pilihan instan lebih menarik.
Kalau sering diulang, otak membuat jalur kebiasaan (habit loop) ada pemicu, kita melakukan, dapat reward.
Misalnya saat stres (pemicu) lalu kita merokok (aksi) setelahnya kita akan lebih lega (reward).
Siklus ini makin lama makin otomatis, sampai terasa nagih.
Duhigg (2012) dalam bukunya The Power of Habit yang juga sering dikutip di berbagai jurnal menyebutkan bahwa kebiasaan terbentuk lewat pola ini
Sehingga otak menyimpannya agar menghemat energi dalam pengambilan keputusan sehari-hari.
Banyak orang melakukan hal negatif untuk lari dari masalah atau emosi.
Begadang nonton drakor supaya nggak mikirin kerjaan, makan manis-manis biar mood naik, atau minum alkohol biar lebih berani.
Walaupun hanya solusi sementara, otak tetap merekamnya sebagai cara cepat untuk mengatasi perasaan.
Menurut Lazarus & Folkman (1984) dalam teori stress and coping, perilaku semacam ini disebut emotion-focused coping—yakni cara mengatasi emosi sesaat, bukan masalah utamanya.
Lingkungan juga bikin nagih. Kalau teman nongkrong semua ngerokok, rasanya wajar untuk ikut.
Kalau keluarga sering ngemil, kita pun gampang terbawa.
Ada unsur social reward: kita merasa diterima kalau melakukan hal yang sama.
Studi dari Christakis & Fowler (2008) di New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa perilaku seperti merokok bisa menyebar dalam jaringan sosial artinya, kebiasaan buruk bisa menular lewat lingkaran pertemanan.
Hal negatif terasa nagih bukan karena kita lemah, tapi karena otak memang dirancang suka dengan hal-hal yang cepat kasih rasa senang.
Sayangnya, efek jangka panjang sering bikin rugi kesehatan, waktu, bahkan keuangan.
Jika ingin lepas dari kebiasaan buruk, kuncinya bukan cuma melawan, tapi mengganti dengan alternatif positif yang juga bisa memberi rasa senang hanya saja lebih sehat.(*/KN)
Editor: Ipik G